SOSIOLINGUISTIK
1.
PENGERTIAN
SOSIOLINGUISTIK
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin
antara sosiologi dan linguistic, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan
sangat erat. Maka, untuk memahami apa sosiolinguistik itu, perlu terlebih
dahulu dibicarakan apa yang dimaksud dengan sosiologi dan linguistic itu.bahwa
sosiologi itu adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia didalam
masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses social yang ada didalam
masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa,
atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan
demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu
antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
itu didalam masyarakat.
2.
KOMUNIKASI
BAHASA
Fungsi bahasa dalam komunikasi bahasa :
1.
Pihak
yang berkomunikasi
Yakni pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan atau yang lebih dikenal dengan partisipan.
2.
Isi
(informasi)
Merupakan informasi yang dikomunikasikan
3.
Alat
yang digunakan
Yaitu (sebagai sebuah system lambang), tanda-tanda (baik berupa gambar, warna
ataupun bunyi) dan gerak-gerik tubuh.
Berdasarkan alat yang digunakan ini dibedakan ada 2 macam, yaitu :
1. Komunikasi non-verbal
Adalah komunikasi yang menggunakan alat bukan
bahasa, seperti peluit, senter / lampu, dll.
2. Komunikasi verbal
Adalah komunikasi yang menggunakan bahasa
sebagai alatnya. Bahasa yang digunakan
dalamkomunikasi ini tentunya harus merupakan kode yang sama-sama dipahami oleh
pihak penutur dan pihak pendengar.
3.
VARIASI
BAHASA
Bahasa menjadi beragam dan
bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata Inggris variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa bukan
hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena
kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan
memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan
semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat
banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
Dalam hal variasi
atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama,
variasi atau ragam bahasa itu
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat
adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa
itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan
pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa
itu menjadi seragam. Kedua, variasi
atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi
dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi atau ragam bahasa itu
dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan
di dalam masyarakat sosial.
Adapun variasi-variasi bahasa
tersebut yaitu:
1.
Segi
Penutur
a)
Idiolek
Idiolek
yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap
orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi
idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan
kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna “ suara itu,
sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara
bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya. Mengenali idiolek
seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada melalui karya tulisnya.
b)
Dialek
Dialek
yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang
berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini lazim
disebut dialek areal, dialek regional, atau
dialek geografi.
c)
Kronolek
Kronolek
atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial
pada masa tertentu.
d)
Sosiolek
Sosiolek atau dialek sosial yaitu variasi bahasa
yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.
2.
Segi
Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos
(1967) dalam bukunya The Five Clock membagi
variasi bahasa atas lima macam gaya (inggris: Style), yaitu:
a)
Ragam
beku (frozen)
Ragam beku adalah variasi bahasa
yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan
upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah di mesjid,
tata cara pengambilan sumpah; kitab
undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena
pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.
b)
Ragam
resmi (formal)
Ragam resmi atau formal adalah
variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan,rapat dinas,
surat-menyurat dinas,ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
c)
Ragam
Usaha (konsultatif)
Ragam
usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam
pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang
berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan ragam usaha ini
adalah ragam bahasa yang paling
operasional. Wujud bahasa ini berada diantara ragam formal dan ragam
informal atau ragam santai.
d)
Ragam
santai (casual)
Ragam
santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi
tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada
waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi dan sebagainya.
e)
Ragam
akrab (intimate)
Ragam
akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga, atau
antarteman yang sudah karib.
3.
Segi
Sarana
Variasi
bahasa dapat juga dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal
ini disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan
sarana atau alat tertentu, yakni misal dalam menelpon atau bertelegram. Adanya
ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa
bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
Umpamanya kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada
dihadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan pandangan
pada kursi itu kita cukup mengatakan,”tolong pindahkan ini”.
4.
BILLINGUALISME
1.
Kedwibahasaan
(Bilingualisme)
Istilah billingualisme (Inggris: Billingualism)
dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya saja
secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualism itu,
yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.
Konsep
umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang
penuturdalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan
sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualism.
2.
Dislogsia
Kata
diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan
oleh Marcais, seorang linguis Prancis,
tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistic setelah digunakan
oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C. A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium
tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Antrophological Assosiation di Washington SC.
5.
ALIH
KODE DAN CAMPUR KODE
1)
Alih
Kode (gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi)
Alih kode atau code switching
adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu
peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih
menggunakan bahasa Inggris. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan
bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam alih
kode masing-masing bahasa cenderung masih mendukung fungsi masing-masing
dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Nababan (1984:31) menyatakan bahwa konsep
alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam
bahasa yang satu ke ragam yang lain. Misalnya, ragam formal ke ragam santai,
dari kromo inggil (bahasa jawa) ke bahasa ngoko dan lain sebagainya.
Kridalaksana (1982:7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk
menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya
partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu
alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat
formalitas interaksi para penutur.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena
perubahan peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling
ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam
pemakaian dua bahasa atau lebih.
2)
Campur
Kode(tidak
ada peralihan, tetapi campur bahasa)
Nababan (1984:32) mengatakan campur
kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih)
bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur
menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu.
Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi
komputer ini sangat lambat”. Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan
kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi
kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi
campur kode. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan
unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa
tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis
bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya
secara sadar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur
kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur
secara sadar.
6.
INTERFERENSI
& INTEGRASI BAHASA
1.
Interferensi
Interferensi, menurut
Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek
kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa
interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau
lebih.
Untuk memantapkan
pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan
pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah
mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut pendapat Chaer
(1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan
suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa
dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai
peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair
(1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan
ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Abdulhayi (1985:8) mengacu
pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai
akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan
bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer
atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.
Menurut Bawa (1981: 8),
ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa
itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan
terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap
bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma
bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang
sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif
terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar
belakang munculnya interferensi.
2.
Integrasi
Integrasi adalah
penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian
dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah
satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa
lain.
Weinrich (1970:11)
mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang
dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur
itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka
terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi
masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian
dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal
tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur
serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi
sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah
terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus
bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi
unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa
penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur
integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak
lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber
dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan
yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan
kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat
pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa
penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu.
Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor
antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa
penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya
sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa
penyerapnya.
7.
PERUBAHAN,
PERGESERAN, PEMERTAHANAN BAHASA
1.
Perubahan
Bahasa
Perubahan bahasa lazin diartikan sebagai
adanya perubahan kaidah, entah kaidahnya itu direvisi , kaidahnya menghilang
atau munculnya kaidah baru dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran
linguistik ; fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Pada
bahasa-bahasa yang mempunyai sejarah panjang tentu perubahan-perubahan itu
sudah terjadi berangsur dan bertahap.
2.
Pergeseran
Bahasa
Chaer dan Agustina (2004:142)
mengemukakan bahwa pergeseran bahasa menyangkut
masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur
yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke
masyarakat tutur lain. Dengan kata lain, pergeseran bahasa akan terjadi kalau
seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan
bahasa lain, dan bercampur dengan mereka. Pendatang atau kelompok pendatang ini
mau tidak mau, harus menyesuaikan diri dengan “menanggalkan” bahasanya sendiri,
lalu menggunakan bahasa penduduk setempat.
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat pemakai memilih suatu
bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran
bahasa itu terjadi karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain,
biasanya bahasa domain dan berprestise, lalu digunakan dalam ranah-ranah
pemakaian bahasa yang lama.
Dari contoh di atas dapat
disimpulkan bahawa pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat dwibahasa atau
multibahasa. Kedwibahasaan menurut Umar (1994:9) dimulai ketika penduduk yang
berpindah itu berkontak dengan penduduk pribumi lalu pihak yang satu
mempelajari pihak lainnya untuk kebutuhan komunikasi.
3.
Pemertahanan
Bahasa
Diatas telah dijelaskan bahwa
pergeseran bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan
bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka
adalah masyarakat minoritas.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa
minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah
kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa
dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya
dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian
semacam itu dilakukan oleh Gal (1979) di Australia dan Dorial (1981) di
Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa imigran melainkan tentang
bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan oleh bahasa baru
(B2) dalam wilayah mereka sendiri.
Menurut Sumarsono dalam laporan
penelitiannya mengenai pemertahanan penggunaan bahasa Melayu Loloan di desa
Loloan yang termasuk dalam wilayah kota Nagara, Bali (dikutip Chaer dan Agustina, 2004:147), ada
beberapa faktor yang menyebabkan bahasa itu dapat bertahan, yaitu: pertama,
wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis
agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat
mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi
dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang
digunakan juga bahasa Bali. Ketiga, anggota masyarakat Loloan, mempunyai sikap
keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali.
Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Loloan
ini menyebabkan minimnya interaksi fisik
antara masyarakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yang Mayoritas.
Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam interaksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan.
Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari anggota masyarakat Loloan terhadap
bahasa Melayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang
menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam; sedangkan
bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas dari masyarakat Bali yang
beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolak untuk
kegiatan-kegiatan intrakelompok, terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya
kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke
generasi berikutnya.
Komentar
Posting Komentar