Alih Kode Dan Campur Kode

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM TUTURAN SANTRI DAN USTAZAH DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUL ULUM 1 DI MADURA DAN MTS NURUL ISLAM ANTOROGO DI JEMBER

MAKALAH



Disusun Oleh:
Nur Hasanah (1534411055)
Nurul Eka Febriyanti (1534411057)
Rahma Triamuda M. (1534411064)
Rahmawati (1534411065)


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PGRI BANGKALAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA  INDONESIA
2017






BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
      Alih kode dan campur kode sering kali terjadi dalam berbegai percakapan masyarakat,  alih kode dan campur kode dapat terjadi di semua kalangan masyarakat, status soisal sesorang tidak dapat mencegah terjadinya alih kode maupun campur kode atau sering disebut multi bahasa. Masyarakat yang multi bahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari satu bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan bahasa tersebut dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam kajian sosiolinguistik, pilihan-pilihan bahasa tersebut kemudian dibahas karena hal ini merupakan aspek penting yang dikaji dalam suatu ilmu kebahasaan. Oleh karena itu, maka hal itulah yang melatar belakangi kami untuk menulis dan menyusun makalah ini.
      Peristiwa komunikasi merupakan peristiwa yang dialami oleh setiap orang dengan berbagai bahasa. Peristiwa komunikasi merupakan suatu peristiwa yang sangat majemuk. Komunikasi merupakan peristiwa penyampaian pesan dari komuniator. Agar pesan tersebut sampai kepada komunikan, seorang komunikator harus menggunakan bahasa yang juga dipahami oleh komunikan. Ketika seorang komunikator menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh komunikan, maka pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak akan sampai pada komunikan. Dalam hal ini bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang snagat penting.
      Namun, tidak semua penutur dan lawan tutur memiliki penguasaan bahasa yang sama.sering terjadi penutur harus berganti bahasa ketika akan berbicara dengan lawan tuturnya yang tidak menguasai bahasa penutur. Peralihan bahasa inilah yang disebut alih kode. Alih kode ini sering terjadi pada koomunikasi masyarakat Indonesia. Tidak hanya pergantian bahasa saja yang terjadi dalam peristiwa komunikasi, tetapi percampuran antar dua bahasa pun sering terjadi. Percampuran bahasa ini sering dilakukan karena antara penutur dan lawan tutur memiliki penguasaan yang sama pada dua bahasa. Masyarakat sering kali tidak sadar ketika mereka melakukan campur kode.
      Dalam bab yang lalu telah dibicarakan tentang bilingualisme dan diglosia, yakni dua masalah sosiolinguistik yang ada dalam masyarakat yang multingual di mana kontak bahasa terjadi. Berikut ini akan dibicarakan masalah alih kode (Inggris: code switching) dan campur kode (Inggris: code mixing) yang juga merupakan dua buah masalah dalam masyarakat multilingual. Oleh karena itu, dalam makalah yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode dalam tutur santri dan ustadzah Raudlatul Ulum 1 di Madura dan MTs Nurul Islam Antorogo di Jember. Di mana dapat dibedakan antara alih kode dan campur kode dalam dialog-dialog penutur dan lawan tutur.

1.2 Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang di atas penyusun merumuskan beberapa rumusan masalah diantaranya:
Bagaimana alih kode dalam tutur santri dan ustazah di pondok pesantren Raudlatul Ulum 1 di Madura?
Bagaimana campur kode dalam tutur santri  MTs Nurul Islam di Jember?


BAB II
KAJIAN  PUSTAKA
2.1 Alih Kode
      Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi didalam buku Chaer (2010:106) dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam sampai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah peristiwa yang disebut alih kode di dalam sosiolinguistik. Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat dari para pakar.         Appel (1976: 79) mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi’. Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga.                Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875: 103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi juga dapat terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam  satu bahasa. Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagai kita bahwa pengalihan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia penngalihan dari ragam santai ke ragam resmi berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal. Tercakup dalam peristiwa yang disebut dengan alih kode.
  Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan soisolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (1976: 15), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang di maksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antara bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoire masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
       Menurut Ohoiwutun (2007: 71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa lainnya. Alihbahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi  bahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antar pembicara dan pendengar, variasi bahasa,  tujuan pembicara, topk yang dibahas, waktu dan tempat berbincang.

2.2 Campur Kode
       Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai persamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan.           Malah Hyll dan Hyll (1980: 122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol  dan Nahuali di kelompok Hindia Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk  dapat membedakan antara alih kode dan campur kode. Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
       Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sabar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan di atas. Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode besar yang digunakan dan memiliki fungsi dan peotonomiannya, sedangkan kode-kode lin yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau peotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia  banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daeahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang ke Jawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa).
  Thelander (1976: 103) mencoba menjelaskan prbedaan alih kode dan camppur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi, apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frse campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
Dalam campur kode  penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur tersebut dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok data. Jika berwjud kata biasanya gejala itu disebut peminjaman. Hal yang menyulitkan timbul ketika memakai kata-kata pinjaman tetapi kata-kata pinjaman ini sudah  tidak dirasakan sebagai kat asing melainkan disarankan sebagai bahasa yang dipakai.
    Sumarsono (2004: 202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa buan lagi kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan campur kode.
Penyebab Terjadinya AlihKode dan Campur Kode
1. Penyebab terjadinya alih kode
         Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarak tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004: 108), yaitu:
a) Penutur
           Perilaku atau sikap penutur, yang dengan snegaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya mengubah situasi remi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakaan yang dilakukannya. Sebagai contoh, A adalah orang Sumbawa. B adalah orang Batak. Keduanya sedang terlibat percakapan. Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka. Kemudian ditanggapi oleh si B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga. Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak. Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa asli si B, maka si B pun merespon si A dengan baik. Maka di sinilah letak keuntungan tersebut. si A berbasa-basi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh si B dan ia merasa percakapan berjalan lancar, maka si A dnegan sengaja mengalihkan ke bahasa Batak. Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu si B. Peristiwa inilah yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode.

b) Lawan Tutur
          Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimabangi kemmpuan berbahasa lawan tuturnya.dalm hal  ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut  bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah restoran. Kemudian ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang. Tamu tersebut ingi mempraktikan bahasa Indonesia yang telah ia pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu tersebut menanyakan biaya makannya ia tidak dapat mengerti karena Rani masih menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa jepang sampai tamu tersebut mengerti apa yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Oleh karena itu, lawan tutur juga harus sengat mempengaruhi peristiwa lih kode.

c) Hadirnya Penutur Ketiga
         Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran penutur mitra tutur ketiga, biasanya  penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara. Mereka berdua adalah orang Sumbawa. Oleh karena itu, ketika berbicara mereka menggnakan bahasa sehari-hari, yaitu bahasa Sumbawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik kawan Tini yang berasal dari kota Lombok. Untuk sesaat Upik tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kemudian Tini memahami hal tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik, yaitu bahasa Indonesia. Kemudian ia bercerita tentang apa yang ia bicarakan dengan Tono menggunakan bahasa Indonesia. Inilah yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.

d) Perubahan Situasi
          Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya alih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya.

e) Topik pembicaraan
     Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal baiasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

2. Penyebab terjadinya campur kode
        Sama halnya dengan alih kode, campur kode pun disebabkan oelh masyarakat tutur yang multilingual. Namun, tidak seperti alih kode, campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan, karena campur kode digunakan biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicar atas pengetahuan bahasa asing yang diketahuinya. Campur kode digunakan karena apabila seseorang yang sedang dalam kegiatan berkomunikasi tidak mendapatkan padanan kata yang cocok yang dapat menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya, maka ia akan mencari padanan kata yang cocok dengan jalan mengambil istilah dari beebagai bahasa yang ia kuasai. Kemudian penyebab terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur, dan kebahasaan (linguistik type) yakni latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.

2.3 Jenis-jenis Alih Kode dan Campur Kode
1. Jenis-jenis alih kode
   a) Alih kode metaforis
                 Alih kode metaforis, yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.

b) Alih kode situasional
             Sedangkan alih kode situasional, yaitu alih kode yng terjadi berdasarkan situasi di mana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam situasi dan bahasa lain dalam situasi lain. Dalam alih kode ini tidak terjadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga).

2. Jenis-jenis campur kode
           Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing) dan campur kode ke dalam (inner code-mixing).
Campur kode ke luar (inner code-mixing)
Yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia—bahasa Inggris—bahasa Jepang, dan lain-lain.
Campur kode ke dalam (inner code-mixing)
Yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia—bahasa Sumbawa—bahasa Batak—bahasa Minang (lebih ke dialek), dan lain-lain.



BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Alih kode
             Alih kode adalah perubahan bahasa dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Sepenuhnya dapat terjadi karena adanya perubahan situasi dan juga adanya penutur dan lawan tutur yang berbeda bahasa, hadirnya orang ketiga dan topik pembicaraan. Berikut ada beberapa contoh dialog alih kode dalam interaksi antar santri pondok pesantren Raudlatul Ulum 1 di Madura. Yang ceritanya beberapa santri sedang membersihkan pondoknya dengan pengawasan seorang Ustazah.

Dengan topik I : membersihkan selokan.
Santri : ini sudah dibersihkan tad!
Ustazah : engkok atanyah apah? Terus lanjutkan! Terus bersihkan semua sampah yang ada diselokan itu, cepat! Abbe, ariyah pas ngalak karebbeh dhibik.
Santri : yang  itu juga tad?
Ustazah : ya, itu juga harus dibersihkan, setelah itu di depan kantor, kantin dan kamar mandi. Depan pondok sudah? Depan perpustakaan? Masa cuma abhersiyan e lakdiyeh gilok mareh, dhari ghellek?
Dalam contoh pertama pergantian bahasa atau alih kode dari sang Ustazah. Saat  Santrinya menyatakan tutur bahasanya dengan bahasa Indonesia, maka sang Ustazah menyatakan tutur bahasanya langsung beralih ke bahasa Madura. Dapat ditemui peralihan bahasanya seperti, engkok atanyah apah?, abbe, riyah pas ngalak karebbeh  dhibik, dan abhersiyan e lakdiyeh gilok mareh dhari ghellek?. Penyebabnya juga berasal dari perubahan situasi, karena situasi tersebut berupa situasi formal menjadi nonformal. Pokok pembicaraannya yang bersifat nonformal disampaikan dengan bahasa nonbaku, sedikit emosional dan serba seenaknya. Dari situlah sudah muncul alih kodenya dari bahasa Indonesia ke bahasa Madura.

Dengan topik II : Zakat Fitrah
Santri : zakat fitrah itu seperti apa tad?
Ustazah : zekat petra jiyah kewejibennah oreng islam neng bulen Romadon se wejib e pekeluwar untuk dirinya sendiri.
Santri : oh,begitu ya tad?
Telah tampak peralihan bahasanya atau alih kode dalam dialog santri dan Ustazah. Pada saat santrinya bertanya menggunakan bahasanya Indonesia lalu sang Ustazah menjawab dengan bahasa aslinya yaitu bahasa Madura. Karena mereka sama-sama berasal dari Madura, jadi tidak ada kesulitan saat mendengar kata-kata dari pembicara maupun pendengar. Dapat ditemui peralihan bahasanya seperti, zekat petrah riyah kewejibennah oreng islam neng bulen Romadon se wejib e pekeluwar. Sama dengan contoh pertama di atas, bahwa penyebabnya dari perubahan situasi, dari situasi formal ke situasi nonformal. Dari contoh di kedua tersebut dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau alih kode.

3.2 Campur Kode
    Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Sebagai contoh campur kode dalam interaksi santri penutur bahasa Madura di lingkungan sekolah MTs Nurul Islam Antorogo Jember. Berikut ilustrasinya.
Penutur I : marena amaennah Voli kek?
Penutur II : seyah... ma’ tagher tak olleya, kan persahabatan nyamannah.
Penutur I : sip lah, tang tanggungjawab jerriyeh lah.
Penutur II : bagus, laksanakanlah bos!
Penutur II : mon ca’en sakek maag paleng.
Campur kode berbentuk kata yang dimunculkan oleh sesama penutur bahasa Madura dapat  ditemui dalam penyisipan kata bahasa Indonesia, yakni voli, persahabatan, tanggungjawab, bagus, laksanakan dan maag.
Berikut contoh campur kode kedua dalam interaksi sesama bahasa Madura dengan seorang kyai.
Kyai : ya’ sapo, naddhif! Ghibeh sampana ka kranjhangnga na’.
Santri: na’am Kyai.
Kyai : yeh, sukron.
Santri: kyai, abdhina badhi izin paleman duare neka.
Kyai : mole kapan? Tapeh jhek bit-abit.
Santri: coma duare Kyai. Besok ghulagghu abdina paleman.
Campur kode yang terdapat pada penggalan tuturan di atas berupa kata baik dari unsur bahasa Madura, bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Campur kode berbentuk kata dari unsur bahasa Arab yakni, naddhif  ”bersihkan”, na’am “iya”, dan syukron “terimakasih”. Sedangkan campur kode berbentuk kata dari unsur bahasa Indonesia seperti izin, kapan, dan besok. Dari kedua contoh ilustrasi di atas, telah dibedakan antara alih kode dan campur kode dalam interaksi dialog dua bahasa maupun lebih.


BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
     Dari penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peralihan pemakaian dari suatu bahasa ke bahasa lainnya, yang disebabkan oleh penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, perubahan situasi maupun topik pembicaraan. Begitu pula dengan campur kode, yaitu penyisipan satu kata dalam bahasa yang dituturkan seseorang tanpa ada situasi yang menuntut percampuran bahasa  tersebut.

1. Alih kode
      Seperti contoh dialog di atas, di mana mereka berasal dari satu daerah yaitu Madura. Terdapat peralihan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Madura, dengan penutur dan lawan tutur yang sama-sama mengerti, maka terjadilah alih kode. Namun, penyebabnya terjadi karena berubahnya situasi, dari situasi formal ke situasi nonformal, sehingga bersifat nonbaku dan emosional.

2. Campur kode
        Penyisipan kata dalam satu bahasa, di mana penutur dan lawan tutur menggunakan bahasa Madura lalu disisipkan satu kata bahasa Indonesia, dan terdapat  lebih dari dua bahasa yaitu bahasa Madura, bahasa Arab dan bahasa Indonesia, itu juga dapat terjadi dalam campur kode. Sebab campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan, melainkan adanya kebiasaan dalam bahasanya.

4.2 Saran
     Saran yang ingin disampaikan sebagai motivasi dan referensi  dalam penelitian alih kode dan campur kode dalam kajian sosiolinguistik. Diharapkan setelah melakukan penelitian ini  muncul penelitian-penelitian baru, sehingga dapat menumbhkan motivasi dalam pengembangan pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA
Chaer,Abdul dan Leonie Agustina.2010.Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta: Rineka Cipta.
http://ilmusastra.blogspot.co.id/2013/09/makalah-alih-kode-dancampurkode.html?m=1
s://pejuang-pejuang-santri.blogspot.co.id
repository.unej.ac.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI

PSIKOLINGUISTIK

FRASA